oleh

Membongkar Skenario Busuk Pilpres 2019

Membongkar Skenario Busuk Pilpres 2019. Oleh: Mochammad Sa’dun Masyhur, Alumnus MPKP UI dan Peneliti Senior CIDES.

Bersamaan dengan pelaksanaan Pemilu 17 April 2019, beberapa lembaga survei (LS) melaksanakan exit poll (EP) dan quick count (QC), yang tujuannya untuk mengetahui lebih cepat hasil Pemilu. Namun polemik dan ketegangan di masyarakat muncul, karena hasil yang sifatnya belum pasti dan tidak resmi itu, dianggap oleh sebagian orang sebagai patokan dan dijadikan bahan, untuk menyerang pihak yang kalah. Padahal jelas bahwa hasil hitung cepat itu bukan dilakukan dan bukan hasil dari lembaga yang memiliki otoritas resmi, KPU.

Sejak awal pertarungan Pilpres, sesunguhnya banyak pihak yang telah mencurigai, keberadaan beberapa lembaga survei yang menjadi bagian dari tim sukses salah satu capres. Kecurigaan itu beralasan, karena tampak sekali, mereka berpihak dan memainkan peran, membela yang bayar. Mungkin karena ingin menang mudah, sehingga jurus-jurus survei dikerjakan dengan serampangan, dan mudah dibaca sebagai survei pesanan, jika tidak boleh dikatakan sebagai survei abal-abal.

Lembaga survei kebamyakan hanya memainkan angka-angka. Coba perhatikan hasil survei mereka, yang rata-rata menempatkan perolehan PDIP, dalam pemilu kali ini, diatas 23%. Padahal perolehan tertinggi PDIP dicapai dalam pilpres 2014 sebesar 18.95%.

Karuan saja jika sample yg diambil dari pemilih PDIP sebesar 40%, sedang hasil perolehan suara PDIP diasumsikan sama dengan tahun sebelumnya dan faktor yang lain citeris paribus, maka angka perolehannya akan menurun, dekresi. Hasilnya dipastikan petahana tidak lagi sebesar 55% sebagaimana banyak diungkap lembaga survei. Capaian tertinggi petahana paling dikisaran 45% sd 48%.

Dengan model pengolahan data seperti itulah mereka berkomplot mengiring opini rakyat. Polanya dengan terus-menerus, merelease perolehan suara petahana di atas 55%. Bahkan ada yang membabi buta dengan menetapkan kemenangan petahana di atas 60%.

Operasi busuk berlanjut, dua bulan sebelum pemilu, di saat paslon 01 mulai kedodoran mengalang massa, beberapa lembaga survei menyebarkan berbagai informasi dan isu yang dapat menjatuhkan elektabilitas Prabowo Sandi. Sebaliknya berbagai isu yang dapat menaikkan Jokowi, mereka genjot dalam berbagai bentuk.

Baca Juga :  KPU Kabupaten Asmat Beserta Bawaslu Dilaporkan Aituru-Jakfu ke DKPP

Bahkan Denny JA tampil seolah sebagai dewa survei. Ia melakukan apa-saja untuk menjatuhkan reputasi Paslon 02. Mulailah ia menyebarkan beberapa meme, dan berkembang secara sangat masif. Tampak sekali ia menggunakan meme itu sebagai bagian skenario busuk. Dengan menyebarkan isu apa saja, baginya yang penting lawan tersungkur.

Cara busuk dan akal-akalan lembaga survei berlanjut dalam pelaksanaan EP dan QC. Hal ini sangat mudah dibaca. Lihatlah bagaimana mereka sejak awal perhitungan, telah menempatkan petahana sebagai pihak yang selalu berada di urutan atas. Lantas mereka, dengan meyakinkan, menguraikan hasil-hasil survei yang sudah dipersiapkan jauh hari sebagai pembenar. Padahal dengan logika sederhana, memperhatikan antusiasme dukungan terhadap Prabowo Sandi dalam setiap even kampanye, hampir tidak mungkin Paslon 02, kalah di semua TPS. Apalagi laporan relawan di banyak TPS Paslon 01 kalah telak. Mosok dalam hitung cepat Jokowi terus yang di atas?

Tuduhan bahwa lembaga survei bertindak ugal-ugalan sangat beralasan. Setidaknya mereka tidak terbuka dari mana dana untuk melakukan surveI, dan berapa besarnya, serta siapa-siapa pihak yang terlibat. Wajar hal ini menjadi pertanyaan, karena , banyak surmber menyatakan mereka dibayar hingga ratusan miliar rupiah.

Dalam hal teknis mereka juga tidak pernah membuka perolehan sample suara di TPS tertentu, sehingga akurasinya patut dipertanyakan. Terlebih jika sample yang diambil tidak mewakili cakupan populasi wilayah dan sebaran survei.

Skenario busuk berlanjut ketika mereka dengan serempak dan kompak menyampaikan hasil EP dan QC, memenangkan paslon 01. Dengan menggebu-gebu, mereka seolah-olah sepenuhnya benar. Meskipun mengandung cacat bawaan, mereka menganggap bahwa hasil EP dan QC itu sepenuhnya akurat. Bahkan mereka kabarnya telah menyiapkan pihak yang bertangung jawab, untuk masuk bui dan membayar denda 30 juta, sekiranya ada pelanggaran hukum karena mengumumkan perhitungan lebih awal, 2 jam sebelum TPS ditutup.

Tidak sampai disini, ada skenario busuk yang terus akan berlanjut::
Pertama, dengan hasil EP dan QC diharapkan rakyat sepenuhnya percaya bahwa Paslon 01 menang, sedangkan Paslon 02 kalah.
Kedua, Paslon 01 dan para pendukungnnya segera menyampaikan kemenangan, dengan hiruk pikuk, termasuk mendorong agar Paslon 02 menerima kekalahan dengan lapang dada.
Ketiga, Paslon 02 menyambut kemenangan Paslon 01, dan menyampaikan ucapan selamat.

Baca Juga :  Prestasi Seorang Presiden, Sebuah Opini Malika Dwi Ana

Jika tiga hal itu sukses, maka masuklah Paslon 02 dalam perangkap skenario busuk mereka. Apapun yang dilakukan Paslon 02 kemudian, akan dianggap sebagai tindakan di luar batas, dan tidak bisa menerima kekalahan. Persis sama seperti kejadian 2014.

Skenario berikutnya dapat diduga akan dilakukan upaya-upaya sistematis agar hasil perhitungan di KPU mendekati EP dan QC. Operasi perolehan dan perubahan suara akan dilakukan masif, termasuk perubahan perhitungan online, dengan serangan hacker, dari dalam maupun luar negeri, yang sudah di kontrak sejak lama. Data KPU akan disedot, semua perangkat IT akan diretas dan dirusak sistemnya, serta akan diganti dengan data dan sistem yang telah mereka siapkan.

Dalam kondisi terdesak, jikapun hasilnya jauh dari EP atau QC,, telah diskenariokan yang penting Paslon 01 menang dan Paslon 02 kalah Masalah akurasi hasil EP atau QC jauh dari perhitungan KPU bagi lembaga survei tidaklah lagi menjadi persolan. Target lembaga survei adalah menerima bayaran penuh, dan jangan sampai mengembalikan bayaran yang sudah terlanjur diterima.

Beruntung Paslon 02 dan para pendukungnya tidak terjebak, dalam ritme permainan mereka. Karena itu jangan sampai ada ucapan selamat, atau apapun bentuknya, di semua tingkatan ditujukan kepada paslon 01, sebelum ada keputusan perhitungan resmi dari KPU. Semua pihak harus menunggu dengan sabar perhitungan manual KPU.

Bagi segenap rakyat Indonesia, harus dipahami bahwa hingga H+4, sekarang ini, belum ada lembaga manapun termasuk KPU yang memiliki 100% hasil pemilu secara nasional, semua masih dalam proses penghitungan. Diperkirakan perhitungan itu baru selesai 20 hari ke depan.

Baca Juga :  Ketua KPU Halmahera Selatan Diduga Memalsukan Dokumen

Oleh karena itu jika Denny JA atau ada lembaga yang sesumbar bahwa data yang masuk sudah 95%, ia harus membuktikan memiliki data konkritnya miniml dari 700.000 TPS. Ia juga harus membuktikan, jika personal survei ditempatkan di tingkat desa setidaknya dia harus punya 70 ribu surveiyor yang akurat. Berapa besar dana yang digunakan untuk mengerakkan semua itu, dari mana dan siapa.yang membayar, harus jelas.Jika organisasi dan perangkatnya tidak sekuat KPU, itu sepenuhnya bohong.

Tentu saja kondisi ini tidak dapat dibiarkan., karena akan merusak sistem demokrasi Indonesia. KPU sudah seharusnya bertindak lebih progresif. KPU harus berani meminta pertangung jawaban dan memberikan klarifikasi terhadap hasil quick count yang dilakukan oleh lembaga survei, yang sangat sulit dimintai pertangungjawaban, dan cenderung tidak independen.

Dalam hal ini, lembaga survei yang melakukan quick count harus segera diaudit oleh lembaga independen dan memiliki otoritas. Bukan diaudit oleh dewan etik lembaga survei, yang satu badan diantara mereka. Itu sama aja jeruk makan jeruk.

Dewan etik mereka selama ini, terindikasi tidak independen. Misal, kejadian saat Pilgub DKI Jakarta 2017, semua lembaga survei yang tergabung dalam Persepi dan AROPI, semuanya salah dalam melakukan survei yang memenangkan telak pasangan Ahok- Djarot serta Agus-Sylviana tidak diaudit. Mereka juga tidak diberikan sanksi apa-apa. Mereka itulah yang sekarang ini sedang berkomplot, sebagai penjahat demokrasi.

Selanjutnya KPU harus bertindak lebih cepat, transparan, dan profesional. Berbagi kecurangan yang masif dan jelas-jelas terjadi di depan mata, harus segera ditiindak sesuai aturan hukum yang berlaku. Aparat keamanan harus didudukan sebagai bagian penyelenggara yang netral, dan tidak terlibat hal-hal teknis dalam perhitungan suara. KPU harus mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah terlanjur terkoyak.

Kini nasib bangsa dan demokrasi Indonesia, dipertaruhkan di pundak KPU. Jangan sampai konflik politik terjadi, hanya karena ketidakmampuan KPU sebab bertindak memihak dan tidak independen. Itu gawat, dan berbahaya!

Loading...

Baca Juga