Closing Statement di Acara Debat Pilpres, Catatan kecil pojok warung kopi ndéso. Oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.
Untuk menjaring market atau pasar suara di pilpres 2019, kepemimpinan Jokowi semenjak tahun 2014 diisi dengan berbagai cara baik melalui agenda, skenario bahkan propaganda (pencitraan). Agar ia tetap menarik serta bisa diterima lagi oleh pasar. Secara marketing, bila dibanding segmen pasar tahun 2014 dahulu ternyata pasar sudah bergerak. Hectic, berubah dan bervariasi sehingga perlu banyak cara, taktis. Modus dan peran (topeng) yang mesti dikenakan agar sosok Jokowi tetap disukai pasar. Ya, ini dalam rangka branding alias menjual Jokowi.
Namun dalam praktiknya, berbagai skenario yang dirancang kerap kali menimbulkan sentimen negatif bahkan terkadang justru menjebaknya pada kondisi yang kontra produktif. Nah, sebelum lanjut membahas bentuk-bentuk kontradiksi skenario atau agenda di atas, kita mengulas sepintas tentang anatomi pasar suara di pilpres tahun 2019 terlebih dahulu.
Tak dapat dipungkiri, pasar suara dalam pilpres tahun 2019 selain golongan muslim (umat mayoritas) dinilai sebagai segmen terbesar. Ada kaum milenial selaku pemilih pemula. Juga segmen emak-emak yang tidak boleh dianggap remeh.
Maka wajar jika Jokowi sering tampil kemilenial-milenialan, mengenakan jaket jeans, mengendarai motor chooper. Menghadiri acara-acara musik underground, dan seterusnya. Tidak bisa tidak, hal itu dilakukan semata-mata demi merebut hati kaum milenial.
Atau ketika ia blusukan ke pasar-pasar berinteraksi dengan para pedagang tradisional, atau ke sawah. Salaman dan selfie dengan ibu-ibu, maka aktivitas itu dalam rangka meraup suara emak-emak. Dan kemungkinan, motif utama merekrut Ketua MUI, Kyai Ma’ruf Amin (MA) menjadi cawapresnya adalah demi menjaring sebanyak-banyaknya suara muslim selaku segmen terbesar dalam pilpres ini.
Rencananya, dengan satu jurus mengena dua sasaran. Selain memecah suara “Aksi 212” yang cenderung pro kubu sebelah, juga bermaksud menarik empati kaum muslim. Namun apa hendak dikata. Himbauan MA kepada umat Islam agar tidak hadir pada acara Reuni 212 (2/12/2018) di Monas kemarin ternyata tidak digubris umat muslim. Terbukti secara kuantitas, jumlah massa yang hadir di Monas justru lebih banyak ketimbang aksi-aksi sama sebelumnya.
Dengan demikian, tampilnya Jokowi dengan balutan busana santri, atau menjadi imam sholat, misalnya. Mungkin untuk mengambil-alih peran yang seharusnya dimainkan oleh MA. Apa boleh buat. Tidak maksimalnya dorongan MA bagi elektabilitas petahana membuatnya tampil dengan berbagai topeng atau peran. Hari ini memakai baju milenial, besoknya dia mengenakan topeng emak-emak, esok lusa berjubah santri.
Ya kenapa demikian? Karena infrastruktur sebagai produk jualan andalannya. Sekarang agak kurang laku semenjak IMF memberi isyarat bahwa pembangunan infrastruktur di era Jokowi kurang maksimal. Inilah beberapa kondisi kontra produktif yang dialami petahana dan tim sukses.
Pada gilirannya, selain berefek tampilan Jokowi terlihat capek alias lelah akibat banyak peran yang harus dimainkan. Dan mungkin banyak tekanan di kiri kanannya agar dia secepatnya meng-upgrade diri dan penampilannya, sekarang ini hampir tak ada lagi bahan citra yang layak dijual ke publik dalam market pilpres tahun 2019.
Barangkali, puncak kelelahan tersebut terlihat jelas saat debat capres pertama (17/1/2019), dalam wujud “kemarahan”. Hal ini terlihat dihampir semua statement atau tanggapan dari paslon 02, langsung dikontra secara vulgar dengan nada tinggi. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang harusnya dijawab dengan santai dijawab seolah-olah “menuduh” atau menganggap pertanyaan kubu lawan sebagai bentuk intimidasi. Publik akhirnya menilai; siapa yang sebenarnya lebih arogan?
Ya sebagaimana kita tahu, substansi debat capres itu selain melihat visi misi masing-masing calon. Juga yang utama adalah melihat kecerdasan para calon. Biar publik tahu, kira-kira apa isi kepala para calon. Bukannya menyerang atau saling bully, apalagi yang sifatnya personal attack, persis seperti anak sekolahan yang saling mengolok. Penyerangan ke ranah personal justru bentuk modus pengelabuan, agar publik tidak bisa melihat bahwa isi kepalanya sebenarnya kosong melompong.
Ketika closing statement Jokowi di akhir debat, “Saya tidak punya potongan diktator, tidak ada bakat otoriter. Tidak punya rekam jejak kekerasan, tidak punya rekam jejak pelanggaran HAM!”. Ya selain hambar terasa, juga seperti menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri. Biasanya yang mati-matian bilang bukan diktator dan otoriter, malah lebih hebat kediktatorannya.
Setidaknya empat tahun sempat merasakan (tasting) kekuasaan, the power of command, enaknya rasa berkuasa. Mengambil keputusan dan kebijakan tertinggi hampir disemua lini. Sudah cukup membuat seseorang merasa powerful. Secara kasat mata, biasanya tentara gadungan lebih bergaya petentang-petenteng dibandingkan tentara yang asli, ya ngga?!