Fenomena Gelombang Anti Intelektualisme. Oleh: Malika Dwi Ana, Penggiat Institute Studi Agama dan Civil Society.
Kemunculan Jkw (Joko Widodo) di dunia politik sepertinya tidak sendirian. Ia membawa arus besar anti intelektualisme.
Benarkah begitu?
Jika mau tahu, maka lihatlah kualitas, tampilan dan kapasitas para buzzernya. Saya melihatnya kok semu-semunya seperti asal nganu mirip jeplakan palang pintu kereta.
Banyak intelektual dan tokoh di belakang Jkw, tetapi daya kritis yang mereka punya sepertinya menguap entah kemana. Tidak menghargai pikiran bahkan cenderung mengembangkan sinisme. Memuja pencitraan dan realitas semu. Intelektualitasnya jadi seperti tidak ada gunanya, toh ya berakhir pada motive ekonomis, demand and supply. Karena berada di tempat netral itu menjadi suatu masalah yang amat sulit buat mereka, barangkali.
Saya tidak habis pikir, para cerdik pandai sepertinya tergiring arus keraguan, terhypnotis oleh pesona pencitraan. Jangankan kritis, bahkan nilai pikiran mereka sendiri pun tidak mereka percayai. Sehingga cenderung menjadi stempel dan pemandu sorak kekuasaan.
Seperti yang baru-baru ini memviral, tentang ucapan seorang profesor yang gagal jadi cawapres, akhirnya memilih menjadi semacam provokator. Hanya mengingatkan, ya pastikan saja diri anda tahu jalan keluarnya Prof jika pengen memainkan persepsi bahwa yang tidak milih Jkw artinya mereka yang fanatik, garis keras, radikal atau intoleransi. Karena narasi serupa pernah dimainkan di pilkada DKI, dan hingga kini masyarakat terus terbelah.
Mbok sudahlah ya….! Jangan diterus-terusin yang main-main dengan api, jika anda tidak mengetahui cara memadamkannya. Apa sih yang mau dicari Prof MMD dengan mengatakan bahwa daerah dimana Jkw kalah adalah daerah Islam garis keras? Pengen bikin orang sakit hati gitu? Masih kurang musuh po ya?
Yudi Latif menengarai fenomena seperti diatas sebagai gelombang anti intelektualisme, yang sesungguhnya merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual. Bisa dianggap begitu, tetapi menurut saya, bukan cuma pengkhianatan terhadap intelektual, tetapi sudah masuk kategori pelacuran intelektual. Menjual simbol-simbol akademis, pemikir dan keilmuwanannya, demi sedikit harta dan kekuasaan. Ngeri-ngeri sedaplah!
Ini mengingatkan saya akan sebuah hadist nabi, “…apabila di suatu kaum, orang berilmunya telah punah, maka masyarakatnya akan mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin sebagai tempat bertanya. Orang bodoh membuat fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan….”