oleh

Perdebatan Warnai Sidang Tuntutan Maksimal Fredrich

Sidang lanjutan terdakwa Fredrich Yunadi kembali memunculkan kisah menarik. Sebelum sidang pembacaan surat tuntutan saja, diperlukan perdebatan sekitar 30 menit antara Fredrich dan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Masalahnya hanya satu, berkaitan mekanisme pembacaan surat tuntutan. Penuntut umum menganggap surat tuntutan cukup dibacakan bagian-bagian inti seperti dalam sidang terdakwa lain. Namun Fredrich meminta penuntut umum membacakan seluruh isi surat tuntutan.

“Kami keberatan Yang Mulia, kami minta dibacakan seluruhnya,” kata Fredrich di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (31/5).

Majelis hakim pimpinan Saifudin Zuhri pun tersenyum mendengar jawaban tersebut. Bukannya langsung memutuskan, ia justru bertanya kepada penasihat hukum Fredrich mengenai mekanisme pembacaan surat tuntutan.

Tim penasihat hukum pun juga tersenyum mendengar pertanyaan majelis. Sebagai kuasa hukum, tentunya mereka mengikuti permintaan kliennya yaitu agar pembacaan surat tuntutan dibacakan secara menyeluruh. “Tapi kita serahkan seluruhnya kepada majelis,” ujar salah satu tim kuasa hukum.

Majelis hakim memang terlihat keberatan dengan permintaan Fredrich karena selain surat tuntutan KPK tebalnya sekitar 500 halaman, majelis juga mempunyai agenda sidang lain yang mesti diadili. Namun, majelis terlihat enggan langsung memberi keputusan dan kembali menanyakan Fredrich apakah ia keberatan dengan mekanisme pembacaan yang diminta penuntut umum.

“Apa ada manipulasi, kami meminta dibacakan seluruhnya agar tidak ada manipulasi. Karena kami rekam, karena banyak kasus yang dimanipulir Pak, kami rasa itu penting (dibacakan seluruhnya),” ujar Fredrich.

“Kalau ada kata-kata yang tidak sesuai kita bisa cocokkan pada sidang berikutnya,” kata Penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo memberi penjelasan.

“Sering terjadi saksi mengatakan tidak, tapi penuntut umum menyatakan iya. Nanti alasannya salah ketik, renvoi,” jawab Fredrich.

Baca Juga :  Polsek Bekasi Kota Serahkan Bansos di 5 Keluraham Bekasi Barat

Setelah terjadi perdebatan cukup panjang majelis pun memutuskan pembacaan surat tuntutan hanya intin-intinya saja, namun tidak melepaskan substansinya. Majelis hanya mencatat keberatan yang diajukan Fredrich.

Singgung hak imunitas

Penuntut umum pun mulai menguraikan perbuatan yang diduga dilakukan Fredrich termasuk segala unsur dalam surat dakwaan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Seperti unsur dengan sengaja melakukan tindak pidana, penuntut umum KPK I Nengah Gina Saraswati menganggap Fredrich selaku Terdakwa sehat secara jasmani dan rohani. Terdakwa juga memahami apa yang didakwakan dan mampu menjawab pertanyaan serta mengajukan tanggapan maupun bantahan terhadap saksi-saksi maupun alat bukti lainnya yang diajukan di persidangan. Karena itu, secara hukum terdakwa merupakan pribadi (subjek hukum) yang dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.

Bantahan Fredrich selaku advokat punya hak imunitas, sehingga tidak bisa dihukum karena apa yang dilakukannya dalam kapasitas menjalankan profesinya yang dilindungi UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 hanyalah alasan yang dicari-cari.

Sebab, dalam Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013 tentang uji materil UU Advokat, dalam pertimbangannya menyatakan dengan tegas bahwa advokat dalam melaksanakan tugas profesinya bukan hanya beritikad baik, namun juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

“Tentunya hak imunitas ini tidak berlaku atau gugur dengan sendirinya dan terhadap yang bersangkutan dapat dituntut serta dikenakan pertanggungjawaban pidana,” ujar Jaksa Gina.

Baca Juga :  Diduga Begal di Koto Baru, Gorok Leher Karyawan Koperasi Simpan Pinjam Bersimbah Darah

Terkait hak imunitas advokat yang tidak boleh bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan ini, menurut Jaksa Gina dipertegas putusan MK Nomor 7/PUU-XVI/2018 tanggal 28 Februari 2018 terhadap uji materi Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Uji materi ini dikaitkan dengan hak imunitas profesi advokat dengan mencontohkan kasus yang dialami Fredrich. Terhadap permohonan uji materil tersebut, MK menolak gugatan pemohon karena dianggap tidak beralasan hukum. “Salah satu pertimbangannya, yakni menyatakan bahwa imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur ‘itikad baik’ dimaksud tidak terpenuhi,” tutur Jaksa Gina.

Dituntut maksimal

Karenanya, Fredrich dianggap terbukti menghalangi proses penyidikan sesuai dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor sesuai surat dakwaan. Bahkan, penuntut umum mengungkap ada pengerahan massa yang dilakukannya ketika Novanto berada di RS Medika yang tujuannya dianggap menghalangi kinerja penyidik KPK.

Dalam tuntutannya, penuntut umum menyampaikan sejumlah pertimbangan memberatkan. Pertama, perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Kedua, selaku advokat yang merupakan penegak hukum, justru ia dianggap melakukan tindakan tercela yang bertentangan dengan norma hukum dan “menghalalkan segala cara” dalam membela kliennya.

Ketiga sebagai yang mengaku berpendidikan tinggi justru kerap kali menunjukkan tingkah laku dan perkataan yang tidak pantas/kasar, bahkan terkesan menghina pihak lain sehingga telah merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan. Keempat selama pemeriksaan di persidangan Fredrich kerap memberi keterangan yang berbelit-belit. Terakhir, ia dianggap sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatannya.

Lalu apa pertimbangan meringankan? “Tidak ditemukan hal-hal yang meringankan dari perbuatan terdakwa dalam persidangan perkara ini,” kata Jaksa Kresno.

Baca Juga :  Insiden Advokat Magang Diselesaikan di Propam Polres Banyuwangi

Atas dasar itu, penuntut umum berkesimpulan Fredrich terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah “secara bersama-sama dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka dalam perkara korupsi”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi masa penahanan yang telah dijalani terdakwa, dengan perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan. Dan ditambah dengan pidana denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” ujar Jaksa Kresno.

Laporkan hakim

Setelah pembacaan tuntutan, majelis pun memberi kesempatan kepada Fredrich dan tim kuasa hukumnya untuk menyusun pembelaan dalam waktu satu minggu. Tetapi Fredrich protes dengan alasan waktu yang diberikan tidak cukup untuk menyusun pembelaan.

“Tidak mungkin yang Mulia, Pledoi saya saja 1.000 halaman, saya tidak gunakan komputer, tulis tangan,” kata Fredrich yang diamini tim kuasa hukumnya.

Perdebatan pun kembali terjadi dan akhirnya majelis memutuskan memberi kesempatan 8 hari untuk Fredrich dan tim kuasa hukum menyusun pembelaan.

Usai sidang, Fredrich menyatakan pihaknya akan melaporkan majelis ke Komisi Yudisial karena dianggap memihak dalam hal ini penuntut umum. “Saya akan lapor langsung pada pimpinan KY, MA, bahwa ternyata hakim melanggar pasal 158 (KUHAP). Dia menunjukan sikap memihak. Padahal, Pasal 158 KUHAP jelas melarang hakim memihak,” katanya.

Loading...

Baca Juga