Oleh: Nasrudin Joha
Detikperistiwa.id, – Publik khususnya umat Islam tentu merasa sangat lega dan gembira atas diterbitkannya SP3 untuk HABIB RIZIEQ SYIHAB (HRS). Keputusan polisi yang menghentikan kasus Chat Porno yang dituduhkan kepada HRS, bukan hal yang luar biasa. Sejak awal, kasus ini memang dipaksakan.
Keluarnya SP3 secara hukum juga hal yang biasa, lumrah, wajar dan bahkan wajib demi hukum. Apa soal ? Karena kasus Chat Hoax yang dituduhkan kepada HRS ini sumir, tidak cukup bukti, tidak nyambung, terlihat jelas dipaksakan.
Apalagi, drama hukum mentersangkakan HRS terlihat sangat lucu. Status tersangka yang diikuti dengan status DPO. Foto HRS diedarkan sampai ke Polsek-Polsek, sudah mirip penjahat perang saja. Bahkan, penyidik sempat sesumbar akan meminta bantuan polisi internasional untuk menangkap HRS diluar negeri, meski akhirnya menanggung malu karena kasus ini tidak termasuk kasus besar yang memiliki urgensi melibatkan Interpol.
HRS yang pergi ke Mekah secara legal, melalui bandara resmi, menggunakan paspor resmi, di framing seolah melarikan diri (baca: kabur). HRS keluar negeri dalam status bebas, tidak ada cekal, lantas tuduhan kabur ini dasarnya apa ? Karena tuduhan, maka tidak perlu dasar. Termasuk kasus Chat yang dituduhkan, tidak perlu bukti, yang dibutuhkan hanya “wewenang kekuasaan” untuk mengubah status seseorang.
Karenanya, keluarnya status SP3 HRS yang nyaris bersamaan dengan dikeluarkannya SP3 kasus penodaan agama oleh Sukmawati, perlu dicermati beberapa hal :
Pertama, pernyataan penyidik yang menyebut SP3 dikeluarkan sebab tidak didukung bukti yang kuat berupa tidak ditemukannya orang yang mengunggah Chat Hoax, diikuti dengan pernyataan penyidik yang menyebut akan membuka kembali kasus jika ditemukan bukti baru, mengungkap satu kesimpulan bahwa SP3 yang dikeluarkan bukanlah SP3 tanpa motif.
Meski secara normatif SP3 bisa diterbitkan, termasuk penyidik bisa juga membuka kembali kasus, keadaan ini menunjukan esensi bahwa kasus bisa dibuat suka-suka tergantung kepentingannya apa. Jika kepentingan berubah, pencabutan status tersangka bisa diangkat, penyidikan ulang bisa dilakukan dan HRS sewaktu-waktu bisa bergelar Tersangka lagi.
Kedua, pengumuman SP3 kasus Sukmawati tidak berselang lama dengan pengumuman status SP3 kasus HRS. Publik khususnya umat Islam, diajak untuk berkompromi pada kasus penodaan agama oleh Sukmawati dengan komitmen SP3 HRS.
Apalagi, ikut aktifnya istana melalui Ali Mochtar Ngabalin, mempertegas dimensi kompromi politik melalui sarana hukum berupa penerbitan SP3 kasus HRS. Ini yang patut diwaspadai, mengingat kekuatan dan preferensi politik umat Islam tidak lepas dari preferensi politik yang ditetapkan HRS.
Publik termasuk rezim, sadar benar bagaimana kedigdayaan suara umat Islam pada gelaran Pilkada DKI Jakarta. Jika dilawan, tidak menutup kemungkinan jiwa heroik dan patriotisme umat Islam mampu menggulung kekuasaan rezim pada gelaran pemilu dan Pilpres 2019.
Ketidaktulusan status SP3 HRS juga terkonfirmasi melalui pernyataan PDIP yang menyebut masih ada 10 (sepuluh) kasus lain yang menunggu HRS. Artinya, meski kasus tesis HRS di Polda Jabar dan kasus Chat Hoax di Polda Metro Djaya di SP3, kasus yang lain setiap saat bisa digoreng sesuai kebutuhan, untuk menghadirkan hidangan politik yang lezat sesuai misi dan kepentingan.
Pada titik inilah, umat wajib waspada terhadap seluruh gerak gerik rezim. Tidak boleh, sedikitpun menyerahkan leher umat dengan memberikan kepercayaan penuh kepada rezim tanpa batas, yang dapat mengakibatkan bahaya (dloror) bagi umat Islam.
Rezim paham betul tingkat elektabilitasnya ada dibawah batas garis merah. Pendekatan Represifme kepada umat telah mengubah umat semakin militan membela kepentingannya, membela agamanya. Karenanya, rezim mencoba mengkombinasi cara (uslub) untuk menundukan umat Islam dengan pendekatan tekanan dan kompensasi.
Umat Islam tidak boleh lemah dan mengalah atas SP3 yang diterbitkan untuk busukma, umat harus menuntut busukma dipenjara. Praperadilan kasus busukma harus segera dilayangkan. Umat juga tidak boleh terlena, menganggap SP3 HRS adalah hadiah dari rezim, yang dengan itu umat menjadi tunduk dibawah kendali rezim. Karena itu, wahai umat waspadalah ! Waspadalah ! [].